Urban Legend
"Gadis berkepang 2"
Hari itu, seperti biasanya. Aku pulang dari Tempat les jam 20:30 Dengan alasan menghemat uang jajan hanya untuk naek angkot, aku memutuskan untuk berjalan
kaki, ya, sebenarnya jarak rumah dan jarak les ku cuman beberapa blok dari sini jadi
hari itu aku memutuskan untuk jalan kaki. Aku melewati sebuah
perkampungan kumuh nan becek itu saat waktu sudah menunjukkan pukul 22:00, waktu yang sebenarnya aku tidur-tiduran ditempat tidurku itu. Sepatuku berusaha menghindari setiap genangan air yang
menggenang di beberapa tempat berlubang. Sampai tiba-tiba aku menangkap
sosok seorang gadis yang tinggi sedang berjalan menujuh arah didepan ku. Dengan rasa penasaran yang tinggi, di tengah kampung yang
sangat sepi ini, mengapa ada orang tua yang tega membiarkan anak
perempuannya berkeliaran sendiri di tempat yang gelap ini, aku pun
mendekatinya. Mendadak langkahnya berhenti sebelum aku berhasil
mengajaknya bicara.
“kakak, sedang apa kau di tempat sepi seperti ini?” sapaku sambil berusaha ramah ditambah rasa takutku yang beriringan dengan bulu kuduk ku yang berdiri lagi.
Gadis dengan rambut tipis dan berkepang dua itu bergeming. Bila kuterka,
mungkin usianya masih tujuh belasan tahun. Tiba-tiba ia berbalik ke arahku,
dan aku sangat terkejut saat mengetahui wajahnya yang sangat pucat dan didekat matanya tampak terluka dan hampir copot. OH GOD ini sangat mencekam!
“Di mana rumahmu, kak? Biar aku yang temenin kakak pulang siapa tau rumah kakak dan aku sama arah kak” ucapku lagi sambil meraih
tangannya yang dingin. Suara sahutan jangkrik terdengar begitu nyaring
dan keras di tempat yang sepi ini. Bahkan jalan raya pun kosong.
Gadis itu menatapku nanar lalu tersenyum, “tolong antarkan aku pulang..” ucapnya datar dengan senyum tipis di pipinya.
Ia menunjuk sebuah rumah tua bercagak tinggi di sebuah tikungan. Tanpa berpikir lebih jauh aku segera mengantarnya.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki
lagi. Seorang teman di tempat les bercerita bahwa ia telah kecopetan di
sebuah bis kota kemarin saat pulang kerja. Lalu saat itu pula aku
bersyukur karena kemarin aku tidak jadi pulang dengannya.
Aku melewati kampung kumuh itu lagi, karena itu memang jalan pintas
satu-satunya yang aku tahu selama tiga tahun aku tinggal di sini.
Saat melewati sebuah gang, aku menoleh dan mendapati gadis berkepang dua
yang kemarin kuantar pulang itu, sedang duduk-duduk sendirian di teras
rumahnya yang sangat luas. Kali ini ia mengenakan gaun berwarna kuning.
Entah, aku juga tidak mengerti, tapi ada sesuatu dalam diriku yang membawaku untuk menghampiri gadis itu.
Saat aku sudah dekat dengannya, gadis itu mendongak, dan tiba-tiba senyumnya mengembang di wajahnya yang putih pucat.
“Kamu yang kemarin! Hai!” sapanya dengan nada yang sangat ramah.
Aku hanya tersenyum lalu duduk di sebelahnya. “Mengapa kak tidak masuk? Di luar sangat dingin ditambah lagi gelap kak” tanyaku dan tanpa sadar membelai rambut tipisnya yang lembut.
Gadis itu menggeleng lucu. “aku tidak mau masuk, ibu dan ayah selalu bertengkar, aku takut melihat mereka bertengkar lagi..” jawabnya dengan muka polos
Aku terheran. “kenapa orang tua mu selalu marah kak,kenapa kakak tidak menghetinkan mereka?” tanyaku lagi. Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu,
rasanya, aku sangat menyayangi kakak ini. Entah mengapa, aku tidak bisa
membiarkannya sendirian.
Ia menggeleng lagi. Lalu mengangkat bahu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Lalu aku melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ya,
memang hari ini aku pulang agak malam, tadi pelajaran ditempat les bertambah satu jam jadi aku pulang lama deh, tapi
itu terasa menjadi tidak penting lagi saat aku sedang bersama kakak yang cantik ini.
Tiba-tiba tangan mungilnya merogoh tas gandeng ku dan mengeluarkan empat
permen cokelat dari dalamnya. Aku tertawa saat ingat bahwa aku
menyimpannya sudah sejak pagi. “bagaimana kakak tahu tahu??” tanyaku curiga.
Gadis itu hanya menyeringai dan langsung melahapnya. “besok bawakan yang
lebih banyak, ya, dek . kakak sangat suka permen ini.” pintanya manja dengan cokelat yang berantakan
di tepi-tepi bibirnya. Aku mengangguk. "Oke kak , nanti aku bawah banyak lagi dan jelas lebih enak dari pada sekarang kak"
Sejak hari itu, aku menjadi lebih akrab dengan gadis berkepang dua itu.
Ya, aku memanggilnya dengan sebutan “si Kepang Dua”, karena dia sama
sekali tidak pernah mau memberitahukan nama aslinya. Sedangkan dia
memanggilku dengan sebutan “Adek mani”, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan namaku, Erika. Tapi biarlah, selama dia bahagia, aku
tidak akan mengusik hal-hal kecil seperti itu.
Persahabatan kami terus berlangsung selama hampir enam bulan. Terkadang,
saat pagi hari sebelum aku berangkat ke sekolah, aku membawakannya
sebungkus Makanan yang sama ku bawa ke sekolah. Harus kukatakan, bahwa ia
adalah penggemar berat makanan yang berbau cokelat. Aku juga pernah
membelikan sebuah Buku novel kesukaanya untuknya, dan dia sangat menyukai
itu. Pada hari liburku, aku mengajaknya jalan-jalan ke taman hiburan,
kebun binatang, mall, atau pun ke flatku untuk mengajaknya bermain
monopoli, ular tangga, atau game online di laptopku. Dia sangat menyukai
hal-hal tersebut.
Hingga pada suatu hari dia mengatakan bahwa minggu depan adalah ulang
tahunnya yang ke 18. Aku hanya mengangguk tanda mengerti
kepadanya. Tapi tiba-tiba dia memprotesku, “kenapa adek hanya menggaguk?” ucapnya.
“kenapa? Memang, kau mau aku membelikan apa?” tanyaku dengan sedikit nyengir
Lalu dia mengatakan panjang lebar apa yang dia inginkan, dia menyebutkan
bahwa ia ingin sekali mempunyai sebuah buku diary bercover merah muda,
tapi sebelum itu, anehnya, dia mengungkit semua hal yang selama ini
telah ia lakukan denganku. Mulai dari permainan yang pernah kami
mainkan, novel yang pernah aku berikan padanya, sampai
tempat-tempat yang pernah kami kunjungi bersama. Dia bilang, dia ingin
jujur padaku bahwa meskipun dia menyukai semua hal itu, tapi mereka
semua terasa aneh baginya.
Awalnya aku merasa bingung, karena semua itu bukan hal yang asing lagi.
Tapi karena tidak ingin berpikiran aneh tentang gadis ini, akhirnya aku
cukup menyimpulkan bahwa gadis berlensa kebiru-biruan ini adalah “anak
rumahan”, yaitu anak yang jarang keluar rumah, jadi maklum saja kalau
dia tidak tahu apa-apa tentang dunia luar, ya, kira-kira seperti itulah.
Malam itu, pukul setengah sembilan malam, aku pun pulang ke rumahku dan
meninggalkan gadis itu di teras. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin
masuk sebelum melihatku menghilang di balik tikungan. Aku hanya menuruti
permintaannya.
Seminggu kemudian, di kantor. Salah seorang atasan di sekolah memanggilku
ke kelas. Aku menanggapi panggilan itu dan berjalan menuju kelas. Selama aku berjalan itu pula, aku merasa sedikit, oh bukan, tapi aku merasa benar-benar aneh dan..... asing!!
Semua mata para teman-teman tertuju ke arahku, dan tatapan mereka,
seolah-olah mengatakan kalau aku ini adalah seorang yang gila.
“Erika....” Teman ku membuka percakapan dengan menyapaku.
Aku diam mengangguk. “ada apa sehingga Kamu memanggil saya?” tanyaku to the point.
Teman ku itu diam sebentar lalu berdehem. “begini, saya minta maaf
sebelumnya.Karna laptopmu tadi dicuri ka.” Jawabnya to the point juga.
Aku sedikit tersentak. “ma, maksud kamu??” tanyaku tak mengerti.
“Laptop mu dicuri tadi ka , tapi gue mau ngelawan tadi pencurinya galak bener.” Jawabnya singkat.
Aku merasa seperti disetrum oleh listrik berjuta-juta volt. “Yahh gue terus mau bilang apa sama mama gue!” teman ku pun menyahut, “Ta. tapi .” Jawabnya lalu keluar lalu aku keluar sendirian di kelas
dengan tubuhku yang kaku. Dia tidak sedang bercanda. Dan ini bukan
mimpi. Aku benar-benar kehikangan laptop ku yang berharga itu.
Aku kembali ke mejaku dan membereskan segala tetek-bengek yang ada di
sana.Jujur saja, aku sama
sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Beberapa menit yang lalu aku
mencoba untuk bertanya pada temanku yang lainnya perihal Kejadian yang tadi, tapi mereka hanya tersenyum kecut dan saling memandang.
Aku, benar-benar tidak mengerti.
“SELAMAT ULANG TAHUN,KAKAK BERKEPANG DUA KU YANG CANTIK!!” seruku
sambil berusaha tersenyum dan menyodorkan kado yang ia minta dengan
bungkus berwarna merah muda.
Gadis itu menyambutku dengan senyumannya yang sangat indah. Ia
mengenakan gaun yang benar-benar anggun berwarna merah mudah juga,
dengan sepatu transparan berhak sedang. Rambutnya dikepang dua seperti
biasanya, tapi kali ini ia menaruh pita di pinggir kepangannya.
Kami berada di bawah pohon yang sangat besar dengan dua kursi dan satu
meja kayu di sampingnya. Dia sudah menyiapkan dua gelas jus tomat dan
sepotong kue di sana. Aku tetap berusaha terlihat bahagia meski dalam
hatiku masih sedikit terasa janggal.
“terima kasih untuk hadiahnya..” ucapnya gembira seraya meraih kado yang aku sodorkan. Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
Kami pun merayakan pesta kecil di pinggir perkampungan kumuh itu dengan
sangat gembira. Seperti biasanya, tidak ada orang lain di sini selain
kami berdua.
“terima kasih untuk segala kebaikanmu. Mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu” ucapnya di akhir acara.
Aku mengerutkan kening. “apa maksudmu kak?”
Dia tersenyum dan meraih tanganku lalu meremasnya. Tangannya terasa
lebih dingin dari biasanya. “aku bilang, ini adalah terakhir kalinya
kita bertemu. Dan setelah hari ini, aku tidak akan pernah muncul lagi di
hadapanmu, dan kau pun harus segera melupakanku.” Ucapnya datar. “semua
akan baik-baik saja. Kau akan mendapatkan lagi laptopmu, aku akan membuat semua
orang yang mengambil laptopmu itu akan menyesal..” tambahnya.
Aku menggenggam tangannya. “mengapa kakak bicara seperti itu?” tanyaku bingung.
Dia bangkit dari kursinya dan mencondongkan badannya untuk mencium pipiku. “karena, itulah takdirnya..” bisiknya lirih.
Dia berjalan menuju perkampungan kumuh itu sambil menggenggam kado dariku. Langkahnya sangat cepat, dan semakin cepat.
“hei kak , tunggu aku!!” teriakku. Tapi dia tidak bereaksi.
Aku berusaha mengejarnya. Tapi setelah sampai di tikungan, dia
menghilang. Tubuhku langsung lunglai dan terjatuh. Aku shock, hingga tak
sadarkan diri.
Sebulan kemudian, aku sedang berada di tempat les ku untuk berkemas pulang. Ya,
seminggu lalu laptop ku dikembalikan lagi, dia berdalih bahwa laptop ku itu tidak bisa dibuka, *yah karna gue sudah nyisipkan password dan hanya bisa dibuka orang yang punya lah* Dan tanpa pikir panjang, aku segera
menerimanya.
“Erika! Kau sudah mau pulang?” sapa seorang wanita.
Aku menoleh, Liza, Guru ku sudah berdiri di belakangku. Dia
meninggikan sebuah kotak berisi dua buah jus tomat kesukaanku sambil
tersenyum.
“kak bilang kakak ingin sesuatu ucapkan lah!” ucapku sambil menyeruput jusku.
“aku ingin bertanya, tepatnya” dia menghela napas sesaat. “apa kau masih
suka pergi ke makam belanda itu?” tanyanya to the point.
Mataku membesar. “hei, apa yang kakak bicarakan??!!” sentakku. Apa Guruku ini sudah tidak waras? Aku sama sekali tidak pernah pergi
ke makam belanda! Sekalipun!!
Tanpa berkata apapun dia menyodorkan beberapa lembar foto. Sepertinya
aku kenal dengan orang di foto tersebut. Itu, AKU? Dalam foto itu aku
sedang duduk di sebuah makam berkeramik sambil tertawa sendirian, dalam
foto yang lainnya, aku sedang menyodorkan kado berwarna pink pada sebuah
pohon tua di sebuah makam yang ukurannya lebih besar, ada pula aku yang
sedang menaruh bekal makanan kecil disana, ada juga aku yang sedang duduk di sebuah nisan sambil memangku novel sambil tersenyum sendirian. Mendadak, tanganku
gemetaran.
“pada tahun 1834, ada sebuah keluarga Belanda yang tinggal di sebuah
rumah besar di ujung tikungan. Mereka adalah seorang konglomerat yang
disegani oleh masyarakat di daerahnya, dan mereka itu adalah pasangan
tua yang baru dikaruniai anak pada usia 63 tahun. Pada masa itu, wilayah
ini masih didominasi oleh warga negara asing, terutama rakyat Jepang.
“hingga pada suatu hari, saat anak mereka sudah berusia delapan tahun,
di usia mereka yang sudah sangat renta itu, tiada hari tanpa
pertengkaran. Sang ibu selalu berteriak dan mengamuk tanpa alasan sambil
membanting barang-barang antik yang ada di rumah mereka yang bagaikan
istana itu. Sang ayah yang seorang perokok berat pun beberapa waktu
kemudian ditemukan telah menjadi mayat dalam keadaan menggantung. Hal
itu membuat sang istri stres dan menyusul suaminya dengan cara menusuk
perutnya dengan sebuah belati, tanpa memikirkan anaknya.
Sang anak menjadi gelandangan, dan hak waris kekayaan itu telah berhasil
direbut dengan mudahnya oleh tetangga-tetangga mereka yang haus harta.
Pada ulang tahun anak mereka yang ke sembilan, sang anak mengepang
rambutnya menjadi dua dan mengikatnya dengan pita, ia mengenakan gaun
pinknya yang tersisa satu-satunya itu untuk mengenang orang tuanya di
bawah sebuah pohon beringin di sudut tempat tinggal mereka. Konon, gadis
cantik itu tidak pernah mempunyai teman, maka itu, ia sangat
menginginkan sebuah benda yang dapat ia jadikan pelipur laranya. Ia pun
menyobek bagian bawah gaunnya yang ia tulisi dengan cairan merah, yaitu
darahnya sendiri bahwa ia ingin pergi ke masa depan dan mempunyai teman,
paling lama, enam bulan, sampai hari ulang tahunnya datang lagi. Dua
jam setelah itu, ia pun menyusul kedua orang tuanya dengan cara mencekik
lehernya dengan pita rambutnya. Dan jasadnya, diabadikan oleh warga
dengan predikat “gadis malang tak berkawan. Ohya, sebelum gadis itu
benar-benar meninggal, ada seorang yang mendengar bahwa gadis itu
berkata lirih ‘the fate, is not fair!’ di tengah keadaan kritisnya.”
Liza mengakhiri cerita itu dengan wajah yang basah dengan air mata. Aku
membisu. Tubuhku bergetar, dan mulutku terasa kaku. Tanpa sadar, tubuhku
terhuyung, dan aku tidak lagi terjaga. Samar-samar aku mendengar suara Liza berteriak panik. Tapi suara itu segera menghilang.
Gelap. Tempat apa ini? Di mana aku? Mengapa tempat ini hampa dan sepi?
Seorang gadis berkepang dua dan bergaun merah muda mendekatiku, dengan tubuhnya yang melayang. Ia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar