Jumat, 29 November 2013

Urban Legend "Gadis berkepang 2"

Urban Legend
"Gadis berkepang 2"

Hari itu, seperti biasanya. Aku pulang dari Tempat les jam 20:30 Dengan alasan menghemat uang jajan hanya untuk naek angkot, aku memutuskan untuk berjalan kaki, ya, sebenarnya jarak rumah dan jarak les ku cuman beberapa blok dari sini jadi hari itu aku memutuskan untuk jalan kaki. Aku melewati sebuah perkampungan kumuh nan becek itu saat waktu sudah menunjukkan pukul 22:00, waktu yang sebenarnya aku tidur-tiduran ditempat tidurku itu. Sepatuku berusaha menghindari setiap genangan air yang menggenang di beberapa tempat berlubang. Sampai tiba-tiba aku menangkap sosok seorang gadis yang tinggi sedang berjalan menujuh arah didepan ku. Dengan rasa penasaran yang tinggi, di tengah kampung yang sangat sepi ini, mengapa ada orang tua yang tega membiarkan anak perempuannya berkeliaran sendiri di tempat yang gelap ini, aku pun mendekatinya. Mendadak langkahnya berhenti sebelum aku berhasil mengajaknya bicara.
“kakak, sedang apa kau di tempat sepi seperti ini?” sapaku sambil berusaha ramah ditambah rasa takutku yang beriringan dengan bulu kuduk ku yang berdiri lagi.

Gadis dengan rambut tipis dan berkepang dua itu bergeming. Bila kuterka, mungkin usianya masih tujuh belasan tahun. Tiba-tiba ia berbalik ke arahku, dan aku sangat terkejut saat mengetahui wajahnya yang sangat pucat dan didekat matanya tampak terluka dan hampir copot. OH GOD ini sangat mencekam!
“Di mana rumahmu, kak? Biar aku yang temenin kakak pulang siapa tau rumah kakak dan aku sama arah kak” ucapku lagi sambil meraih tangannya yang dingin. Suara sahutan jangkrik terdengar begitu nyaring dan keras di tempat yang sepi ini. Bahkan jalan raya pun kosong.
Gadis itu menatapku nanar lalu tersenyum, “tolong antarkan aku pulang..” ucapnya datar dengan senyum tipis di pipinya.
Ia menunjuk sebuah rumah tua bercagak tinggi di sebuah tikungan. Tanpa berpikir lebih jauh aku segera mengantarnya.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki lagi. Seorang teman di tempat les bercerita bahwa ia telah kecopetan di sebuah bis kota kemarin saat pulang kerja. Lalu saat itu pula aku bersyukur karena kemarin aku tidak jadi pulang dengannya.
Aku melewati kampung kumuh itu lagi, karena itu memang jalan pintas satu-satunya yang aku tahu selama tiga tahun aku tinggal di sini.
Saat melewati sebuah gang, aku menoleh dan mendapati gadis berkepang dua yang kemarin kuantar pulang itu, sedang duduk-duduk sendirian di teras rumahnya yang sangat luas. Kali ini ia mengenakan gaun berwarna kuning. Entah, aku juga tidak mengerti, tapi ada sesuatu dalam diriku yang membawaku untuk menghampiri gadis itu.
Saat aku sudah dekat dengannya, gadis itu mendongak, dan tiba-tiba senyumnya mengembang di wajahnya yang putih pucat.
“Kamu yang kemarin! Hai!” sapanya dengan nada yang sangat ramah.
Aku hanya tersenyum lalu duduk di sebelahnya. “Mengapa kak tidak masuk? Di luar sangat dingin ditambah lagi gelap kak” tanyaku dan tanpa sadar membelai rambut tipisnya yang lembut.
Gadis itu menggeleng lucu. “aku tidak mau masuk, ibu dan ayah selalu bertengkar, aku takut melihat mereka bertengkar lagi..” jawabnya dengan muka polos
Aku terheran. “kenapa orang tua mu selalu marah kak,kenapa kakak tidak menghetinkan mereka?” tanyaku lagi. Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu, rasanya, aku sangat menyayangi kakak ini. Entah mengapa, aku tidak bisa membiarkannya sendirian.
Ia menggeleng lagi. Lalu mengangkat bahu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Lalu aku melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ya, memang hari ini aku pulang agak malam, tadi pelajaran ditempat les bertambah satu jam jadi aku pulang lama deh, tapi itu terasa menjadi tidak penting lagi saat aku sedang bersama kakak yang cantik ini.
Tiba-tiba tangan mungilnya merogoh tas gandeng ku dan mengeluarkan empat permen cokelat dari dalamnya. Aku tertawa saat ingat bahwa aku menyimpannya sudah sejak pagi. “bagaimana kakak tahu tahu??” tanyaku curiga. Gadis itu hanya menyeringai dan langsung melahapnya. “besok bawakan yang lebih banyak, ya, dek . kakak sangat suka permen ini.” pintanya manja dengan cokelat yang berantakan di tepi-tepi bibirnya. Aku mengangguk. "Oke kak , nanti aku bawah banyak lagi dan jelas lebih enak dari pada sekarang kak"
Sejak hari itu, aku menjadi lebih akrab dengan gadis berkepang dua itu. Ya, aku memanggilnya dengan sebutan “si Kepang Dua”, karena dia sama sekali tidak pernah mau memberitahukan nama aslinya. Sedangkan dia memanggilku dengan sebutan “Adek mani”, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan namaku, Erika. Tapi biarlah, selama dia bahagia, aku tidak akan mengusik hal-hal kecil seperti itu.
Persahabatan kami terus berlangsung selama hampir enam bulan. Terkadang, saat pagi hari sebelum aku berangkat ke sekolah, aku membawakannya sebungkus Makanan yang sama ku bawa ke sekolah. Harus kukatakan, bahwa ia adalah penggemar berat makanan yang berbau cokelat. Aku juga pernah membelikan sebuah Buku novel kesukaanya untuknya, dan dia sangat menyukai itu. Pada hari liburku, aku mengajaknya jalan-jalan ke taman hiburan, kebun binatang, mall, atau pun ke flatku untuk mengajaknya bermain monopoli, ular tangga, atau game online di laptopku. Dia sangat menyukai hal-hal tersebut.
Hingga pada suatu hari dia mengatakan bahwa minggu depan adalah ulang tahunnya yang ke 18. Aku hanya mengangguk tanda mengerti kepadanya. Tapi tiba-tiba dia memprotesku, “kenapa adek hanya menggaguk?” ucapnya.
“kenapa? Memang, kau mau aku membelikan apa?” tanyaku dengan sedikit nyengir
Lalu dia mengatakan panjang lebar apa yang dia inginkan, dia menyebutkan bahwa ia ingin sekali mempunyai sebuah buku diary bercover merah muda, tapi sebelum itu, anehnya, dia mengungkit semua hal yang selama ini telah ia lakukan denganku. Mulai dari permainan yang pernah kami mainkan, novel yang pernah aku berikan padanya, sampai tempat-tempat yang pernah kami kunjungi bersama. Dia bilang, dia ingin jujur padaku bahwa meskipun dia menyukai semua hal itu, tapi mereka semua terasa aneh baginya.
Awalnya aku merasa bingung, karena semua itu bukan hal yang asing lagi. Tapi karena tidak ingin berpikiran aneh tentang gadis ini, akhirnya aku cukup menyimpulkan bahwa gadis berlensa kebiru-biruan ini adalah “anak rumahan”, yaitu anak yang jarang keluar rumah, jadi maklum saja kalau dia tidak tahu apa-apa tentang dunia luar, ya, kira-kira seperti itulah.
Malam itu, pukul setengah sembilan malam, aku pun pulang ke rumahku dan meninggalkan gadis itu di teras. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin masuk sebelum melihatku menghilang di balik tikungan. Aku hanya menuruti permintaannya.
Seminggu kemudian, di kantor. Salah seorang atasan di sekolah memanggilku ke kelas. Aku menanggapi panggilan itu dan berjalan menuju kelas. Selama aku berjalan itu pula, aku merasa sedikit, oh bukan, tapi aku merasa benar-benar aneh dan..... asing!!
Semua mata para teman-teman tertuju ke arahku, dan tatapan mereka, seolah-olah mengatakan kalau aku ini adalah seorang yang gila.
“Erika....” Teman ku membuka percakapan dengan menyapaku.
Aku diam mengangguk. “ada apa sehingga Kamu memanggil saya?” tanyaku to the point.
  Teman ku itu diam sebentar lalu berdehem. “begini, saya minta maaf sebelumnya.Karna laptopmu tadi dicuri ka.” Jawabnya to the point juga.
Aku sedikit tersentak. “ma, maksud kamu??” tanyaku tak mengerti.
“Laptop mu dicuri tadi ka , tapi gue mau ngelawan tadi pencurinya galak bener.” Jawabnya singkat.
Aku merasa seperti disetrum oleh listrik berjuta-juta volt. “Yahh gue terus mau bilang apa sama mama gue!” teman ku pun menyahut, “Ta. tapi .” Jawabnya lalu keluar lalu aku keluar sendirian di kelas dengan tubuhku yang kaku. Dia tidak sedang bercanda. Dan ini bukan mimpi. Aku benar-benar kehikangan laptop ku yang berharga itu.
Aku kembali ke mejaku dan membereskan segala tetek-bengek yang ada di sana.Jujur saja, aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Beberapa menit yang lalu aku mencoba untuk bertanya pada temanku yang lainnya perihal Kejadian yang tadi, tapi mereka hanya tersenyum kecut dan saling memandang. Aku, benar-benar tidak mengerti.




“SELAMAT ULANG TAHUN,KAKAK BERKEPANG DUA KU YANG CANTIK!!” seruku sambil berusaha tersenyum dan menyodorkan kado yang ia minta dengan bungkus berwarna merah muda.
Gadis itu menyambutku dengan senyumannya yang sangat indah. Ia mengenakan gaun yang benar-benar anggun berwarna merah mudah juga, dengan sepatu transparan berhak sedang. Rambutnya dikepang dua seperti biasanya, tapi kali ini ia menaruh pita di pinggir kepangannya.
Kami berada di bawah pohon yang sangat besar dengan dua kursi dan satu meja kayu di sampingnya. Dia sudah menyiapkan dua gelas jus tomat dan sepotong kue di sana. Aku tetap berusaha terlihat bahagia meski dalam hatiku masih sedikit terasa janggal.
“terima kasih untuk hadiahnya..” ucapnya gembira seraya meraih kado yang aku sodorkan. Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
Kami pun merayakan pesta kecil di pinggir perkampungan kumuh itu dengan sangat gembira. Seperti biasanya, tidak ada orang lain di sini selain kami berdua.
“terima kasih untuk segala kebaikanmu. Mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu” ucapnya di akhir acara.
Aku mengerutkan kening. “apa maksudmu kak?”
Dia tersenyum dan meraih tanganku lalu meremasnya. Tangannya terasa lebih dingin dari biasanya. “aku bilang, ini adalah terakhir kalinya kita bertemu. Dan setelah hari ini, aku tidak akan pernah muncul lagi di hadapanmu, dan kau pun harus segera melupakanku.” Ucapnya datar. “semua akan baik-baik saja. Kau akan mendapatkan lagi laptopmu, aku akan membuat semua orang yang mengambil laptopmu itu akan menyesal..” tambahnya.
Aku menggenggam tangannya. “mengapa kakak bicara seperti itu?” tanyaku bingung.
Dia bangkit dari kursinya dan mencondongkan badannya untuk mencium pipiku. “karena, itulah takdirnya..” bisiknya lirih.
Dia berjalan menuju perkampungan kumuh itu sambil menggenggam kado dariku. Langkahnya sangat cepat, dan semakin cepat.
“hei kak , tunggu aku!!” teriakku. Tapi dia tidak bereaksi.
Aku berusaha mengejarnya. Tapi setelah sampai di tikungan, dia menghilang. Tubuhku langsung lunglai dan terjatuh. Aku shock, hingga tak sadarkan diri.
Sebulan kemudian, aku sedang berada di tempat les ku untuk berkemas pulang. Ya, seminggu lalu laptop ku dikembalikan lagi, dia berdalih bahwa laptop ku itu tidak bisa dibuka, *yah karna gue sudah nyisipkan password dan hanya bisa dibuka orang yang punya lah* Dan tanpa pikir panjang, aku segera menerimanya.
“Erika! Kau sudah mau pulang?” sapa seorang wanita.
Aku menoleh, Liza, Guru ku sudah berdiri di belakangku. Dia meninggikan sebuah kotak berisi dua buah jus tomat kesukaanku sambil tersenyum.
“kak bilang kakak ingin sesuatu ucapkan lah!” ucapku sambil menyeruput jusku.
“aku ingin bertanya, tepatnya” dia menghela napas sesaat. “apa kau masih suka pergi ke makam belanda itu?” tanyanya to the point.
Mataku membesar. “hei, apa yang kakak bicarakan??!!” sentakku. Apa  Guruku ini sudah tidak waras? Aku sama sekali tidak pernah pergi ke makam belanda! Sekalipun!!
Tanpa berkata apapun dia menyodorkan beberapa lembar foto. Sepertinya aku kenal dengan orang di foto tersebut. Itu, AKU? Dalam foto itu aku sedang duduk di sebuah makam berkeramik sambil tertawa sendirian, dalam foto yang lainnya, aku sedang menyodorkan kado berwarna pink pada sebuah pohon tua di sebuah makam yang ukurannya lebih besar, ada pula aku yang sedang menaruh bekal makanan kecil disana, ada juga aku yang sedang duduk di sebuah nisan sambil memangku novel sambil tersenyum sendirian. Mendadak, tanganku gemetaran.
“pada tahun 1834, ada sebuah keluarga Belanda yang tinggal di sebuah rumah besar di ujung tikungan. Mereka adalah seorang konglomerat yang disegani oleh masyarakat di daerahnya, dan mereka itu adalah pasangan tua yang baru dikaruniai anak pada usia 63 tahun. Pada masa itu, wilayah ini masih didominasi oleh warga negara asing, terutama rakyat Jepang.
“hingga pada suatu hari, saat anak mereka sudah berusia delapan tahun, di usia mereka yang sudah sangat renta itu, tiada hari tanpa pertengkaran. Sang ibu selalu berteriak dan mengamuk tanpa alasan sambil membanting barang-barang antik yang ada di rumah mereka yang bagaikan istana itu. Sang ayah yang seorang perokok berat pun beberapa waktu kemudian ditemukan telah menjadi mayat dalam keadaan menggantung. Hal itu membuat sang istri stres dan menyusul suaminya dengan cara menusuk perutnya dengan sebuah belati, tanpa memikirkan anaknya.
Sang anak menjadi gelandangan, dan hak waris kekayaan itu telah berhasil direbut dengan mudahnya oleh tetangga-tetangga mereka yang haus harta. Pada ulang tahun anak mereka yang ke sembilan, sang anak mengepang rambutnya menjadi dua dan mengikatnya dengan pita, ia mengenakan gaun pinknya yang tersisa satu-satunya itu untuk mengenang orang tuanya di bawah sebuah pohon beringin di sudut tempat tinggal mereka. Konon, gadis cantik itu tidak pernah mempunyai teman, maka itu, ia sangat menginginkan sebuah benda yang dapat ia jadikan pelipur laranya. Ia pun menyobek bagian bawah gaunnya yang ia tulisi dengan cairan merah, yaitu darahnya sendiri bahwa ia ingin pergi ke masa depan dan mempunyai teman, paling lama, enam bulan, sampai hari ulang tahunnya datang lagi. Dua jam setelah itu, ia pun menyusul kedua orang tuanya dengan cara mencekik lehernya dengan pita rambutnya. Dan jasadnya, diabadikan oleh warga dengan predikat “gadis malang tak berkawan. Ohya, sebelum gadis itu benar-benar meninggal, ada seorang yang mendengar bahwa gadis itu berkata lirih ‘the fate, is not fair!’ di tengah keadaan kritisnya.”
Liza mengakhiri cerita itu dengan wajah yang basah dengan air mata. Aku membisu. Tubuhku bergetar, dan mulutku terasa kaku. Tanpa sadar, tubuhku terhuyung, dan aku tidak lagi terjaga. Samar-samar aku mendengar suara Liza berteriak panik. Tapi suara itu segera menghilang.
Gelap. Tempat apa ini? Di mana aku? Mengapa tempat ini hampa dan sepi?
Seorang gadis berkepang dua dan bergaun merah muda mendekatiku, dengan tubuhnya yang melayang. Ia tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar